Kamis, 11 Agustus 2016

Full Day School

Full Day School

Full day school masih menjadi trending topik, ikutan berpartisipasi aaaah... hehe...

Masalah setuju atau tidak, bebas, namanya juga pendapat.
Tapi, faktanya ialah, setiap fullday school yang saya ketahui, hasilnya itu memang luar biasa bagus.
Contohnya sekolah di daerah Cirebon di dekat tempat saya tinggal dulu sewaktu mencari ilmu di perkuliahan. Antara murid, guru, dengan orang tua memiliki komunikasi yang baik dan lebih memiliki perhatian khusus, rasa kekeluargaannya lebih kental.
Orang tua tidak seenaknya saja menitipkan anaknya di sekolah, namun nyatanya ada jalinan kekeluargaan yang harmonis antara guru dengan orang tua. Orang tua dapat lega menitipkan anaknya untuk di didik pada orang yang tepat. Gurunyapun menyayangi muridnya layaknya anaknya. Dalam acara tertentu, orang tua juga sering dilibatkan, misalkan untuk hadir bersama orang tua dalam event tertentu, ataupun pada hari tertentu diadakan piknik keluarga yang melibatkan interaksi antara murid, orang tua, dan guru.
Lalu bagaimana belajarnya? kasihan otaknya meledak? Mungkin hanya terlalu berlebihan saja dalam menanggapinya bagi yang belum tahu. Setahu saya, ada waktunya istirahat, ada waktunya makan siang bersama, ada waktunya sholat berjamaah, sampai ada waktunya tidur siang, pokoknya murid di fasilitasi senyaman mungkin seperti berada di rumah sendiri. Pengetahuan siswanya oke, hafalan Al-Qur'an murid-muridnya juga diacungi jempol.
Itu gambaran untuk sekolah yang memang sudah di setting full day school, alias sudah siap segalanya. Namun, jika diterapkan serentak seluruhnya, mungkin harus lebih dikaji lagi mengenai kesiapannya, mulai dari fasilitas hingga kesiapan para pendidiknya.

Sepengalaman saya sih, ini mah saya yaa.. Hehe...
Dulu ketika saya SMP, lokasinya cukup jauh dengan rumah. Standarnya sekolah pulang paling lama jam 2 sore. Tapi itu belum cukup, maka saya mengikuti bimbel di salah satu lembaga bimbingan belajar. Pulang sampai rumah kakek bisa sampai Isya (Belum sampai rumah orang tua). Itu juga belum cukup untuk saya, maka di malam hari setelah waktu Isya saya les matematika dengan memanggil guru privat dan belajar di rumah salah satu teman saya yang lokasinya dekat dwngan rumah kakek saya. Pulang dijemput ayah saya sampai rumah sekitar jam 10 hingga 11 malam. Kalau tidak ada PR langsung tidur, kalau masih ada PR langsung dikerjakan. Bukannya bermaksud sombong atau bagaimana, tapi saya terus melakukan aktivitas tersebut karena saya merasa sangat tidak bisanya saya, saya merasa betapa bodohnya saya ketimbang dengan teman-teman lain. Saya hanya murid dari kampung yang sedang menuntut ilmu di kota, dan saya ingin "Bisa!" itu saja. Selama saya menjalani hari-hari itu, ada kalanya terasa lelah.  Tapi otak saya tidak pernah meledak. Justru saya merasa waktu yang diberikan untuk hidup di dunia ini lebih manfaat. Justru saat-saat itu adalah saat-saat yang dirindukan. Merindukan bagaimana semangat,  asyik,  dan nikmatnya belajar. Pun ketika di perkuliahan dengan berbagai tugas, makalah, laporan, yang tidur sampai begadang menyelesaikan segala tugas tersebut menjadi sebuah kerinduan tersendiri. Merindukan nikmatnya belajar. Merasa paling bodoh tapi ingin "Bisa", rasanya ada semangat dorongan tersendiri. Semakin tahu, maka semakin merasa kurang, semakin merasa bahwa ilmu ini luas dan masih banyak lagi yang harus dipelajari.

Mungkin belajar di pesantren lebih dari ini. Mungkin full day school adalah semi atau pertengahan antara sistem sekolah konvensional dengan pesantren. Mungkin pula sistem full day school adalah solusi untuk orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya di pesantren namun tetap bisa bertemu setiap harinya. Maybe...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar