Mungkin ini terkesan
seperti sebuah pembelaan, tapi sebenarnya saya sendiri tak perduli orang lain
berkata apa tentang saya. Namun ketika tangan ini tak tahan lagi, sepertinya
saya harus angkat bicara melalui tulisan tentang sebuah sudut pandang dari sisi
“Saya”. Beberapa waktu lalu saya pernah mempublikasikan tentang pencapaian saya
melalui media sosial. Mungkin ada beberapa pernyataan positiv maupun negatif
yang merespon hal tersebut. Ada yang mengapresiasi, namun ada juga yang
mengingatkan agar tak menyombongkan diri. Sebenarnya saya menayangkan
pencapaian di masa lalu tersebut hanya sekedar “flash back”. Bahwa jalan yang berliku begitu terasa dalam hidup
saya. Bagi mereka yang tahu seluk-beluk saya secara mendalam, pasti akan
mengerti posisi saya. Namun bagi yang baru mengenal, saya mendapat pelajaran
baru dalam kehidupan yang indah ini.
Sekitar tiga sampai empat tahun yang lalu,
saya pernah mengikuti casting sebuah FTV
kelas televisi Nasional, tepatnya sebelum nenek saya meninggal. Saya ditawari
guru saya untuk mengikuti casting, saya
pikir bahwa ini adalah salah satu impian saya, mungkin ini adalah jalan saya. Oleh
karena itu, saya sempat meminta izin untuk absen dari pembelajaran di kelas. Karena
guru yang menawarkan saya adalah wakil kepala sekolah bagian kurikulum,
otomatis sangat disetujui dan mendapatkan dispensasi.
Saya dan teman-teman
mengikuti pelatihan demi pelatihan untuk mengikuti casting tersebut. Berhari-hari kami susah payah mengikuti pelatihan
tersebut agar dapat diterima. Pada waktu itu, kami sampai mengorbankan belajar
di sekolah demi casting tersebut. Pagi
berganti siang, hingga siang berganti malam. Akhirnya beberapa waktu, kami
terpaksa harus pulang malam karena kegiatan pelatihan seperti mengolah akting
dalam teater. Kami benar-benar berantusias terhadap pelatihan tersebut karena
berharap akan dipilih dan dapat menjadi salah satu pemeran di FTV tersebut.
Singkat cerita, hari
demi hari mulai terasa melelahkan. Peranpun tak jelas untuk siapa dan bagiannya
apa saja. Iming-iming yang membumbung tinggi dari pelatih hanya sebagai bumbu
latihan saja. Nyatanya, tak ada satupun sebuah kepastian. Hingga suatu ketika pelaksanaan
pembuatan FTV tersebut dilakukan di sebuah keraton. Almarhum nenek saya sampai
sempat menengok saya untuk melihat saya memerankan sebuah peran dalam FTV
televisi kelas nasional. Beliau menunggu dari pagi hingga siang namun satupun
peran tak ditentukan untuk diperankan oleh saya dan teman-teman saya. Akhirnya almarhum
nenek saya pulang bersama paman saya karena mungkin sudah kelelahan. Sayapun
memakluminya, namun justru saya begitu terharu bahwa almarhum nenek saya sangat
antusias dengan kegiatan yang saya lakukan, namun sayang justru saya
mengecewakannya karena tidak memerankan satupun sebuah peran.
Siang hari menjelang
sore, akhirnya saya dan teman-teman saya dikumpulkan untuk mengambil bagian
dari peran yang terdapat di cerita FTV tersebut. Namun sayang, kami hanya
menjadi pemeran figuran saja. Meski figuran, saat pengambilan gambar terus saja
diulang berkali-kali. Kami pikir, kami akan ada di layar TV dalam durasi selama
waktu pengambilan adegan, karena itu kami masih berpikir positif dan berharap
bahwa akan diberi peran yang jelas, yang sekiranya sebanding dengan perjuangan
kami terus dan terus berlatih.
Hari pertama
pengambilan adegan di sebuah keraton akhirnya selesai. Kemudian berlalu
beberapa waktu dalam pengharapan yang masih tak jelas, singkat cerita lagi
bahwa kami di minta untuk datang di tempat lokasi pengambilan adegan pada malam
hari di sebuah sekolah tinggi kesehatan yang di sulap menjadi tempat
pemberangkatan TKI dalam cerita FTV tersebut. Teman-teman saya tidak ditemani
oleh keluarganya, hanya satu orang saja yang ditemani oleh kakaknya. Sedangkan saya
beruntung bahwa saya ditemani oleh ibunda saya tercinta. Ibu saya menyempatkan
waktunya untuk menemani saya, anak perempuan satu-satunya yang ibu saya miliki.
Malam itu adalah adegan
di mana tokoh utama beradegan menjadi seorang pekerja kasar semacam kuli
pengrajin rotan. Saya dan teman-teman di minta untuk menjadi pemeran figuran
sebagai kuli pekerja yang sedang mengantri untuk absen masuk. Karena adegannya
menjadi kuli, maka kami di minta untuk mengenakan baju yang compang camping
lusush seperti layaknya kuli yang telah bekerja keras seharian. Di sinilah
timbul gejolak tekanan yang begitu besar. Di sinilah timbul sebuah pilihan
untuk mengorbankan keyakinan atau memilih kesenangan sesaat. Waktu itu baju
yang saya kenakan dianggap terlalu bagus untuk menjadi figuran seorang kuli. Saya
hampir di depak untuk tidak mengikuti peran tersebut. Namun waktu itu saya
berpikir bahwa sangat disayangkan bahwa ketika sudah susah payah untuk
mengikuti sebuah pelatihan-demi pelatihan hingga mengorbankan sekolah, waktu,
dan tenaga, serta sudah meminta ibu saya untuk menemani saya malam hari,
mengapa pupus begitu saja hanya karena hal yang sepele seperti baju yang
dianggap kurang mewakili peran. Akhirnya saya dan teman-teman saya mempunyai
ide bahwa membalik baju sehingga terlihat lebih compang-camping. Namun memang
ada saja alasan yang terlalu mengada-ada. Ternyata menurut penata rias
mengatakan bawa saya tetap tidak bisa berperan untuk menjadi figuran seorang
kuli pengrajin rotan.
Tahukah alasannya apa? Karena
saya memakai kerudung. Penata rias mengatakan bahwa kerudung saya masih terlalu
bagus, harus ada yang lebih jelek lagi. Akhirnya saya mengganti kerudung dengan
yang lebih lusuh. Namun apa? Saya masih di anggap belum tepat untuk memerankan
peran tersebut. Lantas apa yang dikatakan oleh penata rias tersebut? Ia mengatakan
bahwa saya lebih baik melepas kerudung. Hah? Apa? Ini benar-benar gila! Saya pikir
cerita ini hanya ada di film-film saja. Saya pikir kejadian ini hanya cerita
dari mulut-ke mulut saja. Namun apa? Ternyata saya sendiri yang mengalami
tekanan ini.
Tahu apa rasanya? Remuk
semua harapan. Sakit begitu mendalam rasanya. Dia pikir saya apa? Dia pikir,
keyakinan saya bisa di bayar hanya dengan uang Rp 25.000 saja? Apa? Sampai berapapun
bayarannya dan sampai kapanpun saya tidak akan lakukan itu, dan seluruh dunia akan
mengetahuinya! Serentak saya kesal dan uring-uringan ingin pulang. Saya begitu
malu pada ibu saya, saya merasa mengecewakan ibu saya, sudah jauh-jauh dan
larut malam ibu saya menemani saya, namun hinaan inikah yang di dapat? Mengapa
saya berada di tempat seburuk itu? Mengapa saya berada di tengah orang selalai
itu? Sebenarnyapun hati saya sudah meragu ketika tidak adanya kejelasan peran. Namun
saya tetap bertahan karena saya percaya pada kenalan guru saya dan saya
menghargai usaha guru saya untuk menunjukkan jalan untuk murid-muridnya. Namun ternyata
siapa yang akan tahu bahwa jadinya akan seperti ini. Maka, setelah kejadian
tersebut, malam itu juga saya langsung pulang dan memutuskan untuk mengakhiri
semuanya. Biarlah semua usaha latihan teater yang berhari-hari berlalu begitu
saja. Biarlah semua itu menjadi sebuah angin lalu.
Setelah beberapa bulan
kemudian setelah kejadian tersebut, nenek saya meninggal dunia. Belum sempat
beliau melihat saya di layar kaca kelas nasional, belum sempat FTV tersebut
tayang, beliau sudah tiada padahal saat di keraton, beliau sampai menemani saya
hingga berjam-jam.
Saya masih ingat bahwa
film tersebut ditayangkan larut malam. saya melihat bahwa saya ada di layar
kaca ketika ada di keraton dan hanya menjadi seorang pemain figuran, yaitu
penonton tari topeng dengan durasi hanya kurang dari tiga detik. Saya hanya
tertawa melihat hasil FTV tersebut. Untunglah saya tidak menuruti penata rias
yang telah buta hati tersebut, rasanya tak ada artinya sekali saya di
hadapannya. Memang dia siapa mengatur kepercayaan saya? Ternyata sedikitpun
adegan di tempat lokasi sekolah tinggi kesehatan tidak digunakan dalam
penayangannya, hanya menjadi prolog sekilas saja. Untunglah saya cepat
memutuskan pilihan untuk meninggalkan kegiatan tersebut. Namun yang naas ialah,
saya masih teringat dengan sekelompok ibu-ibu yang penampilannya seperti
ibu-ibu pengajian, justru ia menuruti perkataan penata rias tersebut. Semoga
ini adalah sebuah pelajaran berharga untuk semua yang membaca ini, terutama
untuk saya sendiri.
Berkaitan dengan itu, beberapa
waktu lalu saya membagi cerita di timeline sebuah media sosial berwarna biru
tua hanya bermaksud untuk flash back saja
agar menjadi rambu-rambu bagi saya sendiri. Namun ternyata ada beberapa yang
beranggapan bahwa kata-kata saya agak menyombongkan diri, maka inilah pelurusan
yang saya lakukan. Bahwa kalimat yang seolah menyombongkan diri tersebut perlu
diketahui cerita yang sebenanya agar tak adanya suatu kesalah pahaman yang
terjadi. Karena justru maksud saya adalah untuk mengambil hikmah di dalamnya.
Suatu kewajiban bahwa saya harus menyampaikan suatu hal yang saya ketahui untuk
menjadi pelajarandan hikmah bagi orang lain, termasuk dengan yang saya alami
sendiri. Tak ingin saya menyombongkan diri karena saya hanya sebutir debu. Tak pantas
saya menyombongkan diri dan membesarkan kepala karena ada Yang Maha Segalanya,
Maha Pencipta Alam Semesta ini, Maha Sempurna, yaitu Allah SWT. Semoga kita
semua selalu diberi-Nya petunjuk. Aamiin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar