Senin, 07 April 2014

Hanya Butiran Debu, Tak Pantas untuk Membesarkan Kepala

Mungkin ini terkesan seperti sebuah pembelaan, tapi sebenarnya saya sendiri tak perduli orang lain berkata apa tentang saya. Namun ketika tangan ini tak tahan lagi, sepertinya saya harus angkat bicara melalui tulisan tentang sebuah sudut pandang dari sisi “Saya”. Beberapa waktu lalu saya pernah mempublikasikan tentang pencapaian saya melalui media sosial. Mungkin ada beberapa pernyataan positiv maupun negatif yang merespon hal tersebut. Ada yang mengapresiasi, namun ada juga yang mengingatkan agar tak menyombongkan diri. Sebenarnya saya menayangkan pencapaian di masa lalu tersebut hanya sekedar “flash back”. Bahwa jalan yang berliku begitu terasa dalam hidup saya. Bagi mereka yang tahu seluk-beluk saya secara mendalam, pasti akan mengerti posisi saya. Namun bagi yang baru mengenal, saya mendapat pelajaran baru dalam kehidupan yang indah ini.
 Sekitar tiga sampai empat tahun yang lalu, saya pernah mengikuti casting sebuah FTV kelas televisi Nasional, tepatnya sebelum nenek saya meninggal. Saya ditawari guru saya untuk mengikuti casting, saya pikir bahwa ini adalah salah satu impian saya, mungkin ini adalah jalan saya. Oleh karena itu, saya sempat meminta izin untuk absen dari pembelajaran di kelas. Karena guru yang menawarkan saya adalah wakil kepala sekolah bagian kurikulum, otomatis sangat disetujui dan mendapatkan dispensasi.
Saya dan teman-teman mengikuti pelatihan demi pelatihan untuk mengikuti casting tersebut. Berhari-hari kami susah payah mengikuti pelatihan tersebut agar dapat diterima. Pada waktu itu, kami sampai mengorbankan belajar di sekolah demi casting tersebut. Pagi berganti siang, hingga siang berganti malam. Akhirnya beberapa waktu, kami terpaksa harus pulang malam karena kegiatan pelatihan seperti mengolah akting dalam teater. Kami benar-benar berantusias terhadap pelatihan tersebut karena berharap akan dipilih dan dapat menjadi salah satu pemeran di FTV tersebut.
Singkat cerita, hari demi hari mulai terasa melelahkan. Peranpun tak jelas untuk siapa dan bagiannya apa saja. Iming-iming yang membumbung tinggi dari pelatih hanya sebagai bumbu latihan saja. Nyatanya, tak ada satupun sebuah kepastian. Hingga suatu ketika pelaksanaan pembuatan FTV tersebut dilakukan di sebuah keraton. Almarhum nenek saya sampai sempat menengok saya untuk melihat saya memerankan sebuah peran dalam FTV televisi kelas nasional. Beliau menunggu dari pagi hingga siang namun satupun peran tak ditentukan untuk diperankan oleh saya dan teman-teman saya. Akhirnya almarhum nenek saya pulang bersama paman saya karena mungkin sudah kelelahan. Sayapun memakluminya, namun justru saya begitu terharu bahwa almarhum nenek saya sangat antusias dengan kegiatan yang saya lakukan, namun sayang justru saya mengecewakannya karena tidak memerankan satupun sebuah peran.
Siang hari menjelang sore, akhirnya saya dan teman-teman saya dikumpulkan untuk mengambil bagian dari peran yang terdapat di cerita FTV tersebut. Namun sayang, kami hanya menjadi pemeran figuran saja. Meski figuran, saat pengambilan gambar terus saja diulang berkali-kali. Kami pikir, kami akan ada di layar TV dalam durasi selama waktu pengambilan adegan, karena itu kami masih berpikir positif dan berharap bahwa akan diberi peran yang jelas, yang sekiranya sebanding dengan perjuangan kami terus dan terus berlatih.
Hari pertama pengambilan adegan di sebuah keraton akhirnya selesai. Kemudian berlalu beberapa waktu dalam pengharapan yang masih tak jelas, singkat cerita lagi bahwa kami di minta untuk datang di tempat lokasi pengambilan adegan pada malam hari di sebuah sekolah tinggi kesehatan yang di sulap menjadi tempat pemberangkatan TKI dalam cerita FTV tersebut. Teman-teman saya tidak ditemani oleh keluarganya, hanya satu orang saja yang ditemani oleh kakaknya. Sedangkan saya beruntung bahwa saya ditemani oleh ibunda saya tercinta. Ibu saya menyempatkan waktunya untuk menemani saya, anak perempuan satu-satunya yang ibu saya miliki.
Malam itu adalah adegan di mana tokoh utama beradegan menjadi seorang pekerja kasar semacam kuli pengrajin rotan. Saya dan teman-teman di minta untuk menjadi pemeran figuran sebagai kuli pekerja yang sedang mengantri untuk absen masuk. Karena adegannya menjadi kuli, maka kami di minta untuk mengenakan baju yang compang camping lusush seperti layaknya kuli yang telah bekerja keras seharian. Di sinilah timbul gejolak tekanan yang begitu besar. Di sinilah timbul sebuah pilihan untuk mengorbankan keyakinan atau memilih kesenangan sesaat. Waktu itu baju yang saya kenakan dianggap terlalu bagus untuk menjadi figuran seorang kuli. Saya hampir di depak untuk tidak mengikuti peran tersebut. Namun waktu itu saya berpikir bahwa sangat disayangkan bahwa ketika sudah susah payah untuk mengikuti sebuah pelatihan-demi pelatihan hingga mengorbankan sekolah, waktu, dan tenaga, serta sudah meminta ibu saya untuk menemani saya malam hari, mengapa pupus begitu saja hanya karena hal yang sepele seperti baju yang dianggap kurang mewakili peran. Akhirnya saya dan teman-teman saya mempunyai ide bahwa membalik baju sehingga terlihat lebih compang-camping. Namun memang ada saja alasan yang terlalu mengada-ada. Ternyata menurut penata rias mengatakan bawa saya tetap tidak bisa berperan untuk menjadi figuran seorang kuli pengrajin rotan.
Tahukah alasannya apa? Karena saya memakai kerudung. Penata rias mengatakan bahwa kerudung saya masih terlalu bagus, harus ada yang lebih jelek lagi. Akhirnya saya mengganti kerudung dengan yang lebih lusuh. Namun apa? Saya masih di anggap belum tepat untuk memerankan peran tersebut. Lantas apa yang dikatakan oleh penata rias tersebut? Ia mengatakan bahwa saya lebih baik melepas kerudung. Hah? Apa? Ini benar-benar gila! Saya pikir cerita ini hanya ada di film-film saja. Saya pikir kejadian ini hanya cerita dari mulut-ke mulut saja. Namun apa? Ternyata saya sendiri yang mengalami tekanan ini.
Tahu apa rasanya? Remuk semua harapan. Sakit begitu mendalam rasanya. Dia pikir saya apa? Dia pikir, keyakinan saya bisa di bayar hanya dengan uang Rp 25.000 saja? Apa? Sampai berapapun bayarannya dan sampai kapanpun saya tidak akan lakukan itu, dan seluruh dunia akan mengetahuinya! Serentak saya kesal dan uring-uringan ingin pulang. Saya begitu malu pada ibu saya, saya merasa mengecewakan ibu saya, sudah jauh-jauh dan larut malam ibu saya menemani saya, namun hinaan inikah yang di dapat? Mengapa saya berada di tempat seburuk itu? Mengapa saya berada di tengah orang selalai itu? Sebenarnyapun hati saya sudah meragu ketika tidak adanya kejelasan peran. Namun saya tetap bertahan karena saya percaya pada kenalan guru saya dan saya menghargai usaha guru saya untuk menunjukkan jalan untuk murid-muridnya. Namun ternyata siapa yang akan tahu bahwa jadinya akan seperti ini. Maka, setelah kejadian tersebut, malam itu juga saya langsung pulang dan memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Biarlah semua usaha latihan teater yang berhari-hari berlalu begitu saja. Biarlah semua itu menjadi sebuah angin lalu.
Setelah beberapa bulan kemudian setelah kejadian tersebut, nenek saya meninggal dunia. Belum sempat beliau melihat saya di layar kaca kelas nasional, belum sempat FTV tersebut tayang, beliau sudah tiada padahal saat di keraton, beliau sampai menemani saya hingga berjam-jam.
Saya masih ingat bahwa film tersebut ditayangkan larut malam. saya melihat bahwa saya ada di layar kaca ketika ada di keraton dan hanya menjadi seorang pemain figuran, yaitu penonton tari topeng dengan durasi hanya kurang dari tiga detik. Saya hanya tertawa melihat hasil FTV tersebut. Untunglah saya tidak menuruti penata rias yang telah buta hati tersebut, rasanya tak ada artinya sekali saya di hadapannya. Memang dia siapa mengatur kepercayaan saya? Ternyata sedikitpun adegan di tempat lokasi sekolah tinggi kesehatan tidak digunakan dalam penayangannya, hanya menjadi prolog sekilas saja. Untunglah saya cepat memutuskan pilihan untuk meninggalkan kegiatan tersebut. Namun yang naas ialah, saya masih teringat dengan sekelompok ibu-ibu yang penampilannya seperti ibu-ibu pengajian, justru ia menuruti perkataan penata rias tersebut. Semoga ini adalah sebuah pelajaran berharga untuk semua yang membaca ini, terutama untuk saya sendiri.

Berkaitan dengan itu, beberapa waktu lalu saya membagi cerita di timeline sebuah media sosial berwarna biru tua hanya bermaksud untuk flash back saja agar menjadi rambu-rambu bagi saya sendiri. Namun ternyata ada beberapa yang beranggapan bahwa kata-kata saya agak menyombongkan diri, maka inilah pelurusan yang saya lakukan. Bahwa kalimat yang seolah menyombongkan diri tersebut perlu diketahui cerita yang sebenanya agar tak adanya suatu kesalah pahaman yang terjadi. Karena justru maksud saya adalah untuk mengambil hikmah di dalamnya. Suatu kewajiban bahwa saya harus menyampaikan suatu hal yang saya ketahui untuk menjadi pelajarandan hikmah bagi orang lain, termasuk dengan yang saya alami sendiri. Tak ingin saya menyombongkan diri karena saya hanya sebutir debu. Tak pantas saya menyombongkan diri dan membesarkan kepala karena ada Yang Maha Segalanya, Maha Pencipta Alam Semesta ini, Maha Sempurna, yaitu Allah SWT. Semoga kita semua selalu diberi-Nya petunjuk. Aamiin...   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar