"25 penyakit
ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada
dalam daging khinzir (babi) .
Daging khinzir
babi diharamkan.
4000 ZAT KIMIA
BERACUN ADA PADA SEBATANG ROKOK.
PATUTNYA ROKOK
DIAPAKAN?"
[Taufik Ismail
dalam karya "Tuhan Sembilan Senti"]
Itulah sepenggal dari puisi yang biasa saya bacakan.
Puisi seorang pujangga yang sangat inspiratif, yaitu Pak Taufik Ismail. Semua bermula
dari sebuah acara memperingati hari jadi kabupaten, saya ditunjuk menjadi
perwakilan siswa untuk meramaikan acara seni. Saya dilatih oleh guru-guru yang
begitu hebat, ilmu-ilmu yang diberikanpun begitu luar biasa. Inilah pertama
kalinya saya berada di depan panggung untuk membacakan puisi. Meskipun tak
megah, namun cukup membuat gemetar seluruh badan. Karena konteksnya
memperingati hari jadi kabupaten, puisi yang saya bacakan saat itupun berbahasa
daerah. Tak di sangka, ada seorang yang terkesan saat saya membecakan puisi,
kemudian beliau memberikan informasi bahwa akan di adakan suatu perlombaan
membaca puisi se-kabupaten. Tentu saya begitu terkejut dengan ditunjuknya saya
sebagai perwakilan kelas. Awalnya saya sedikit meragu, namun motivasi dari para
guru begitu kuat dan do’a orang tua selalu menyertai, alhamdulillah latihan
yang begitu intens membuahkan hasil juga. Tak di sangka Allah memberikan jalan
yang begitu indah, alhamdulillah meskipun tak menjadi pemenang, namun dengan
mendapatkan juara 2 sekabupaten, inilah sebuah titik awal yang baik. Itulah mengapa
sebuah kata bijak mengatakan bahwa ambillah kesempatan meskipun sekecil apapun,
seperti sungai-sungai kecil dari hulu, namun pada akhirnya menuju lautan yang
begitu terbentang luas. Meskipun sebuah kesempatan awalnya terlihat hanya
sederhana, namun justru dari hal yang sederhana itulah yang akan membawakan ke
arah kesempatan yang luar biasa.
Bermula dari titik awal yang begitu indah yang Allah
berikan, mulailah saya sering ditunjuk menjadi perwakilan dari sekolah setiap
ada acara-acara baik formal maupun non formal, baik acara perpisahan, acara rapat
guru dengan orang tua murid. Pada puncak perjalanan, saya tak menduga
sebelumnya, ternyata Allah memberikan rahmat-Nya dengan cara yang begitu indah.
Saya kembali ditunjuk untuk menjadi perwakilan sekolah dalam perlombaan membaca
puisi se-provinsi. Berkali-kali saya berlatih bersama guru-guru yang begitu
hebat. Saat hampir hilang energi dan saat perasaan pesimis mulai menerpa, para guru
selalu memotivasi dan meyakinkan bahwa saya pasti bisa. Tentunya do’a dari
orang tuapun selalu menyertai dalam setiap langkah ini. Alhamdulillah, puji
syukur atas segala nikmat dari Allah, ternyata segala usaha pelatihan yang
telah diberikan oleh para guru dan kekuatan do’a dari orang tua, mengantarkan
saya untuk memenangkan perlombaan menjadi juara satu seprovinsi. Subhanallah, nikmat
yang Allah beri sungguh melimpah tiada batas.
Suatu
ketika, sekolah mengikuti sebuah perlombaan untuk mendapatkam predikat sekolah
sehat. Saat tim penilai sekolah sehat datang, terdapat sesi sambutan. Beruntung
sekali saya berkesempatan untuk mengisi acara sambutan dengan membacakan puisi “Tuhan
Sembilan Senti buah karya Pak Taufik Ismail”. Sekali lagi, saya begitu
merasakan keberkahan yang Allah berikan. Tanpa di duga, tim penilai dari dinas
memberikan reward dan sebuah pin emas bergambar anti rokok. Begitupun dengan
kedatangan tim penilai yang berbeda pada waktu yang lain, saya kembali
diberikan reward dan berlanjut hingga penilaian ketiga pada waktu yang
berikutnya pula. Alhamdulillah, sungguh rahmat dari Allah begitu tiada terkira.
Hingga seorang guru yang baru bertugas di sekolah saya bertanya, bahwa apakah
saya sering berpuasa? Atau amalan apakah yang saya lakukan? Guru tersebut
begitu antusias ingin mengetahuinya. Namun saya hanya menggeleng dan tersenyum
malu sambil menunduk. Yang jelas, ini semua karena kuasa dari Allah, dan saya
sebagai manusia biasa hanya mampu berusaha semampu saya.
Di balik segala kemudahan, justru Allah memberikan sebuah
ujian yang tak terduga. Meski begitu berat di rasa, namun saya meyakini bahwa
ada hikmah di baliknya. Seperti seorang siswa yang ingin naik tingkatan kelas,
tentu harus ada ujian yang di tempuh agar kualitas kemampuan dapat terukur dan
jika lulus, berarti sudah mampu mengikuti kelas selanjutnya yang tingkatannya
lebih tinggi. Begitupun dengan kehidupan, Allah memberikan cobaan dan ujian
agar manusia mampu mengikuti tingkat kualitas kehidupan yang lebih tinggi lagi.
Waktu itu di daerah saya baru ada pemilihan bupati baru. Kemudian diadakan
semacam acara syukuran dan setiap sekolah diberi kesempatan untuk mengajukan
perwakilan dalam acara tersebut. Saat itu saya satu-satunya yang di tunjuk
untuk mengisi acara dengan membacakan puisi. Saya begitu tak nyaman berada di
tengah deretan pejabat. Tempat di mana saya berada terlihat berkabut seperti
kebakaran. Nafas saya begitu sesak dan terasa pengap seperti sedang di cekik. Ternyata
asap-asap itu bukanlah asap dari gedung yang terbakar di lahap api. Namun justru
berasal dari mulut-mulut para pejabat. Dengan santainya mereka menikmati
isap-demi isapan rokok dan tak perduli keadaan sudah seperti gedung yang
terkena kebakaran. Tiba-tiba saya dipanggil untuk maju membacakan puisi di
depan bupati dan para pejabat tersebut. Rupanya puisi yang saya bacakan, yaitu “Tuhan
sembilan senti karya Pak Taufik Ismail” membuat mereka tersinggung. Tak lama
setelah saya membaca bait-demi bait, tiba-tiba pembawa acara dengan cara yang
tidak hormat menyuruh saya untuk berhenti membacakan puisi dan turun dari
panggung. Dengan perasaan yang begitu hancur, saya menyudahi membacakan puisi
dan turun dari panggung. Dalam benak saya, perasaan sakit begitu terasa karena
dipermalukan di depan umum seperti itu. Padahal, saya hanya menyampaikan sebuah
kebaikan. Saya bukan seorang ustadzah yang mampu berdakwah, namun dengan
menyampaikan suatu hal yang benar termasuk berdakwah pula. Niat saya hanya
untuk menyampaikan hal benar yang saya ketahui, bukan menggurui. Karya Pak
Taufik Ismail begitu indah dan bermakna. Satra bukanlah hanya soal keindahan
semata, bukanlah sebuah omong kosong belaka, namun di dalamnya mengandung arti
yang begitu mendalam.
Begitu pilu yang saya rasakan saat melangkahkan kaki selangkang-demi
selangkah. Tetes-demi tetes air matapun semakin bercucuran. Rasanya ingin
segera mengakhiri hari tersebut dan segera pulang ke rumah. Para pejabat
semakin berbisik, entahlah apa yang ada dalam benak mereka. Entah menghinakan
saya, entah menertawakan, entah kasihan, atau apakah, entahlah. Saat saya sudah
turun dari panggung, ayah saya seolah ingin langsung meraih saya dari cekamnya
suasana malam itu. Tentulah sebagai ayah, ingin melindungi anaknya sesulit
apapun keadaan. Namun tiba-tiba saya dibangunkan kembali oleh perasaan remuknya
dipermalukan. Ayah saya memberi tahu bahwa saya dipersilahkan untuk naik ke
atas panggung kembali. Pengisi acara yang lainpun akhirnya mencari saya
kembali. Ternyata Allah mengirimkan bala bantuan pada saya melalui seorang
kepala dinas. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya isi puisi yang saya bacakan
belum selesai dan pesan moral yang ada di dalamnya belum tersampaikan. Inilah
sebenarnya alasan saya diminta datang pada acara tersebut. Dengan menatap ayah
saya yang memberikan pandangan penguatan bahwa saya pasti bisa, akhirnya saya
kembali membacakan isi puisi tersebut setelah dipersilahkan oleh kepala dinas.
"25 penyakit
ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada
dalam daging khinzir (babi) .
Daging khinzir
babi diharamkan.
4000 ZAT KIMIA
BERACUN ADA PADA SEBATANG ROKOK.
PATUTNYA ROKOK
DIAPAKAN?"
Allahuakbar...
Allahuakbar...Allahuakbar... Kuasa Allah begitu nyata. Sebagaimana firman Allah
dalam Qur’an Surat Al-Insyirah bahwa setiap ada kesulitan pasti ada kemudahan.
Alhamdulillah ternyata saya masih dilindungi dari orang-orang yang berniat
mempermalukan saya saat itu. Maka, sesulit apapun kebenaran untuk di ungkapkan,
namun hendaknya kebenaran tetaplah di sampaikan. Meskipun sakit dan pilu di
rasa, namun kebaikan pasti akan menyertai kebenaran.
Setelah acara tersebut berakhir, keesokan
harinya banyak guru yang bertanya mengenai kejadian pilu yang saya alami. Meski
perasaan masilah hancur, namun saya berangsur memulih. Para guru selalu
memberikan penguatan, terutama guru-guru yang selama ini melatih saya. Namun sejak
kejadian tersebut, saya sempat berpikir untuk mengakhiri perjalanan saya dalam
kemegahan panggung. Entah karena perihnya luka itu belumlah pulih, ataukah
memang inilah firasat saya bahwa akan ada jalan lain yang saya lalui, yang
jelas inilah sebuah perjalanan hidup yang harus di tempuh dan harus memilih
arah langkah. Namun, masih ada satu hal yang menjadi impian saya, saya ingin
berdiri di atas panggung sangat megah untuk membacakan puisi karya pujangga
yang saya idolakan, yaitu Pak Taufik Ismail. Tak lama kemudian, Allah
mengabulkan keinginan saya tersebut. Inilah akhir perjalanan saya dalam
membacakan puisi di atas panggung. Sebuah penutup yang begitu mengesankan. Saya
di undang untuk mengisi acara hari kesehatan nasional. Acaranya begitu meriah.
Seluruh dokter berpangkat dan kepala puskesmas dari berbagai daerah menghadiri
acara tersebut. Saya sangat senang berada di tengah-tengah orang super. Saat
saya masuk ke dalam gedung, saya begitu takjub dengan gedung aula yang begitu
megah. Langsung mata sayapun tertuju pada panggung. Begitu luas nan megahnya
panggung tersebut. Layar di sebelah kanan maupun kiri menambah memperjelas
setiap orang yang berada di atas panggung. Saat saya dipanggil, perasaan begitu
bahagia saya rasakan. Seolah tak percaya saya berada di panggung semegah ini,
namun ini nyata. Inilah seperti mimpi yang menjadi nyata. Maka memang benar,
setiap hasil perbuatan adalah bermula dari sebuah niatan. Saya berdiri hanya
berniat untuk berbagi ilmu, saya berdiri hanya untuk menyampaikan hal yang
benar, meskipun sesulit apapun itu, kebenaran tetap harus di sampaikan.
Subhanallah, nikmat dari Allah memang begitu nyata.
Februari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar