Jumat, 14 Februari 2014

Sampaikanlah Kebenaran Meskipun Seberat Apapun Itu


"25 penyakit ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi) .
Daging khinzir babi diharamkan.
4000 ZAT KIMIA BERACUN ADA PADA SEBATANG ROKOK.
PATUTNYA ROKOK DIAPAKAN?"
[Taufik Ismail dalam karya "Tuhan Sembilan Senti"]

            Itulah sepenggal dari puisi yang biasa saya bacakan. Puisi seorang pujangga yang sangat inspiratif, yaitu Pak Taufik Ismail. Semua bermula dari sebuah acara memperingati hari jadi kabupaten, saya ditunjuk menjadi perwakilan siswa untuk meramaikan acara seni. Saya dilatih oleh guru-guru yang begitu hebat, ilmu-ilmu yang diberikanpun begitu luar biasa. Inilah pertama kalinya saya berada di depan panggung untuk membacakan puisi. Meskipun tak megah, namun cukup membuat gemetar seluruh badan. Karena konteksnya memperingati hari jadi kabupaten, puisi yang saya bacakan saat itupun berbahasa daerah. Tak di sangka, ada seorang yang terkesan saat saya membecakan puisi, kemudian beliau memberikan informasi bahwa akan di adakan suatu perlombaan membaca puisi se-kabupaten. Tentu saya begitu terkejut dengan ditunjuknya saya sebagai perwakilan kelas. Awalnya saya sedikit meragu, namun motivasi dari para guru begitu kuat dan do’a orang tua selalu menyertai, alhamdulillah latihan yang begitu intens membuahkan hasil juga. Tak di sangka Allah memberikan jalan yang begitu indah, alhamdulillah meskipun tak menjadi pemenang, namun dengan mendapatkan juara 2 sekabupaten, inilah sebuah titik awal yang baik. Itulah mengapa sebuah kata bijak mengatakan bahwa ambillah kesempatan meskipun sekecil apapun, seperti sungai-sungai kecil dari hulu, namun pada akhirnya menuju lautan yang begitu terbentang luas. Meskipun sebuah kesempatan awalnya terlihat hanya sederhana, namun justru dari hal yang sederhana itulah yang akan membawakan ke arah kesempatan yang luar biasa.

            Bermula dari titik awal yang begitu indah yang Allah berikan, mulailah saya sering ditunjuk menjadi perwakilan dari sekolah setiap ada acara-acara baik formal maupun non formal, baik acara perpisahan, acara rapat guru dengan orang tua murid. Pada puncak perjalanan, saya tak menduga sebelumnya, ternyata Allah memberikan rahmat-Nya dengan cara yang begitu indah. Saya kembali ditunjuk untuk menjadi perwakilan sekolah dalam perlombaan membaca puisi se-provinsi. Berkali-kali saya berlatih bersama guru-guru yang begitu hebat. Saat hampir hilang energi dan saat perasaan pesimis mulai menerpa, para guru selalu memotivasi dan meyakinkan bahwa saya pasti bisa. Tentunya do’a dari orang tuapun selalu menyertai dalam setiap langkah ini. Alhamdulillah, puji syukur atas segala nikmat dari Allah, ternyata segala usaha pelatihan yang telah diberikan oleh para guru dan kekuatan do’a dari orang tua, mengantarkan saya untuk memenangkan perlombaan menjadi juara satu seprovinsi. Subhanallah, nikmat yang Allah beri sungguh melimpah tiada batas.   

            Suatu ketika, sekolah mengikuti sebuah perlombaan untuk mendapatkam predikat sekolah sehat. Saat tim penilai sekolah sehat datang, terdapat sesi sambutan. Beruntung sekali saya berkesempatan untuk mengisi acara sambutan dengan membacakan puisi “Tuhan Sembilan Senti buah karya Pak Taufik Ismail”. Sekali lagi, saya begitu merasakan keberkahan yang Allah berikan. Tanpa di duga, tim penilai dari dinas memberikan reward dan sebuah pin emas bergambar anti rokok. Begitupun dengan kedatangan tim penilai yang berbeda pada waktu yang lain, saya kembali diberikan reward dan berlanjut hingga penilaian ketiga pada waktu yang berikutnya pula. Alhamdulillah, sungguh rahmat dari Allah begitu tiada terkira. Hingga seorang guru yang baru bertugas di sekolah saya bertanya, bahwa apakah saya sering berpuasa? Atau amalan apakah yang saya lakukan? Guru tersebut begitu antusias ingin mengetahuinya. Namun saya hanya menggeleng dan tersenyum malu sambil menunduk. Yang jelas, ini semua karena kuasa dari Allah, dan saya sebagai manusia biasa hanya mampu berusaha semampu saya. 

            Di balik segala kemudahan, justru Allah memberikan sebuah ujian yang tak terduga. Meski begitu berat di rasa, namun saya meyakini bahwa ada hikmah di baliknya. Seperti seorang siswa yang ingin naik tingkatan kelas, tentu harus ada ujian yang di tempuh agar kualitas kemampuan dapat terukur dan jika lulus, berarti sudah mampu mengikuti kelas selanjutnya yang tingkatannya lebih tinggi. Begitupun dengan kehidupan, Allah memberikan cobaan dan ujian agar manusia mampu mengikuti tingkat kualitas kehidupan yang lebih tinggi lagi. Waktu itu di daerah saya baru ada pemilihan bupati baru. Kemudian diadakan semacam acara syukuran dan setiap sekolah diberi kesempatan untuk mengajukan perwakilan dalam acara tersebut. Saat itu saya satu-satunya yang di tunjuk untuk mengisi acara dengan membacakan puisi. Saya begitu tak nyaman berada di tengah deretan pejabat. Tempat di mana saya berada terlihat berkabut seperti kebakaran. Nafas saya begitu sesak dan terasa pengap seperti sedang di cekik. Ternyata asap-asap itu bukanlah asap dari gedung yang terbakar di lahap api. Namun justru berasal dari mulut-mulut para pejabat. Dengan santainya mereka menikmati isap-demi isapan rokok dan tak perduli keadaan sudah seperti gedung yang terkena kebakaran. Tiba-tiba saya dipanggil untuk maju membacakan puisi di depan bupati dan para pejabat tersebut. Rupanya puisi yang saya bacakan, yaitu “Tuhan sembilan senti karya Pak Taufik Ismail” membuat mereka tersinggung. Tak lama setelah saya membaca bait-demi bait, tiba-tiba pembawa acara dengan cara yang tidak hormat menyuruh saya untuk berhenti membacakan puisi dan turun dari panggung. Dengan perasaan yang begitu hancur, saya menyudahi membacakan puisi dan turun dari panggung. Dalam benak saya, perasaan sakit begitu terasa karena dipermalukan di depan umum seperti itu. Padahal, saya hanya menyampaikan sebuah kebaikan. Saya bukan seorang ustadzah yang mampu berdakwah, namun dengan menyampaikan suatu hal yang benar termasuk berdakwah pula. Niat saya hanya untuk menyampaikan hal benar yang saya ketahui, bukan menggurui. Karya Pak Taufik Ismail begitu indah dan bermakna. Satra bukanlah hanya soal keindahan semata, bukanlah sebuah omong kosong belaka, namun di dalamnya mengandung arti yang begitu mendalam.  

            Begitu pilu yang saya rasakan saat melangkahkan kaki selangkang-demi selangkah. Tetes-demi tetes air matapun semakin bercucuran. Rasanya ingin segera mengakhiri hari tersebut dan segera pulang ke rumah. Para pejabat semakin berbisik, entahlah apa yang ada dalam benak mereka. Entah menghinakan saya, entah menertawakan, entah kasihan, atau apakah, entahlah. Saat saya sudah turun dari panggung, ayah saya seolah ingin langsung meraih saya dari cekamnya suasana malam itu. Tentulah sebagai ayah, ingin melindungi anaknya sesulit apapun keadaan. Namun tiba-tiba saya dibangunkan kembali oleh perasaan remuknya dipermalukan. Ayah saya memberi tahu bahwa saya dipersilahkan untuk naik ke atas panggung kembali. Pengisi acara yang lainpun akhirnya mencari saya kembali. Ternyata Allah mengirimkan bala bantuan pada saya melalui seorang kepala dinas. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya isi puisi yang saya bacakan belum selesai dan pesan moral yang ada di dalamnya belum tersampaikan. Inilah sebenarnya alasan saya diminta datang pada acara tersebut. Dengan menatap ayah saya yang memberikan pandangan penguatan bahwa saya pasti bisa, akhirnya saya kembali membacakan isi puisi tersebut setelah dipersilahkan oleh kepala dinas.
"25 penyakit ada dalam khamr.
Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi) .
Daging khinzir babi diharamkan.
4000 ZAT KIMIA BERACUN ADA PADA SEBATANG ROKOK.
PATUTNYA ROKOK DIAPAKAN?"

            Allahuakbar... Allahuakbar...Allahuakbar... Kuasa Allah begitu nyata. Sebagaimana firman Allah dalam Qur’an Surat Al-Insyirah bahwa setiap ada kesulitan pasti ada kemudahan. Alhamdulillah ternyata saya masih dilindungi dari orang-orang yang berniat mempermalukan saya saat itu. Maka, sesulit apapun kebenaran untuk di ungkapkan, namun hendaknya kebenaran tetaplah di sampaikan. Meskipun sakit dan pilu di rasa, namun kebaikan pasti akan menyertai kebenaran.

             Setelah acara tersebut berakhir, keesokan harinya banyak guru yang bertanya mengenai kejadian pilu yang saya alami. Meski perasaan masilah hancur, namun saya berangsur memulih. Para guru selalu memberikan penguatan, terutama guru-guru yang selama ini melatih saya. Namun sejak kejadian tersebut, saya sempat berpikir untuk mengakhiri perjalanan saya dalam kemegahan panggung. Entah karena perihnya luka itu belumlah pulih, ataukah memang inilah firasat saya bahwa akan ada jalan lain yang saya lalui, yang jelas inilah sebuah perjalanan hidup yang harus di tempuh dan harus memilih arah langkah. Namun, masih ada satu hal yang menjadi impian saya, saya ingin berdiri di atas panggung sangat megah untuk membacakan puisi karya pujangga yang saya idolakan, yaitu Pak Taufik Ismail. Tak lama kemudian, Allah mengabulkan keinginan saya tersebut. Inilah akhir perjalanan saya dalam membacakan puisi di atas panggung. Sebuah penutup yang begitu mengesankan. Saya di undang untuk mengisi acara hari kesehatan nasional. Acaranya begitu meriah. Seluruh dokter berpangkat dan kepala puskesmas dari berbagai daerah menghadiri acara tersebut. Saya sangat senang berada di tengah-tengah orang super. Saat saya masuk ke dalam gedung, saya begitu takjub dengan gedung aula yang begitu megah. Langsung mata sayapun tertuju pada panggung. Begitu luas nan megahnya panggung tersebut. Layar di sebelah kanan maupun kiri menambah memperjelas setiap orang yang berada di atas panggung. Saat saya dipanggil, perasaan begitu bahagia saya rasakan. Seolah tak percaya saya berada di panggung semegah ini, namun ini nyata. Inilah seperti mimpi yang menjadi nyata. Maka memang benar, setiap hasil perbuatan adalah bermula dari sebuah niatan. Saya berdiri hanya berniat untuk berbagi ilmu, saya berdiri hanya untuk menyampaikan hal yang benar, meskipun sesulit apapun itu, kebenaran tetap harus di sampaikan. Subhanallah, nikmat dari Allah memang begitu nyata.

Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar