Senin, 30 Desember 2013

Dalam Dekap Hangatnya Sore Hari Saat Ku Mengingat-Mu



Sore menyambut malam. Menantikan datangnya bulan yang berchaya akibat pantulan sang matahari dari arah yang berlawanan. Sejenak, bumi ini terasa terhenti tatkala ku berbaring terkapar sambil menahan rasa sakit. Pikiran entah melayang ke sana-ke mari. Satu pertanyaanku, apakah aku benar-benar masih hidup? Ataukah ini hanyalah sebuah mimpi belaka? Aku seakan merasakan ini begitu fana. Aku begitu takut ketika nanti saat aku membuka mata dan aku sudah tiada lagi, tinggallah berbagai pertanyaan yang harus ku jawab  bahwa untuk apakah umurku selama ini?

Aku coba berdiri dan bertanya kembali dalam benak, jika ini begitu fana, siapakah aku? Apakah aku ini? Untuk apakah aku ini ada? Apa sajakah yang telah aku perbuat? Apakah hidup itu? Harus bagaimanakah aku ini? Jika suatu hari aku ditanya oleh malaikat-malaikat, akankah aku mampu menjawabnya? Aku begitu takut. Siapakah yang dapat menolongku? Apakah orang tuaku yang akan membantuku? Selama ini aku hidup begitu bergantung dengan orang tuaku. Hal yang tak mampu aku lakukan pastilah orang tuaku membantuku. Namun jika tiba waktunya nanti, akankah satu dengan yang lain masih bisa membantu sedangkan ia sendiri akan ditanya dan dipertanggungjawabkan seluruh yang ia lakukan? Otakku seakan melumpuh, tak mampu memikirkan hal yang lebih jauh lagi. Aku begitu takut dan semakin larut dalam kelam.

Aku terus termenung ditengah detik waktu yang terus bergulir maju. Aku berbaring kembali dan terus termenung. Ragaku di sini, namun entah seakan nyawaku melayang nyaris tak menyatu dengan raga ini. Dalam galau bimbang yang teramat sangat, aku terus berpikir keras. Apa yang harus aku lakukan? Aku begitu takut dan semakin larut dalam cekaman. Dalam hati aku menangis, merintih menahan sakit yang ku rasa pada ragaku ini dan menahan rasa takut yang mencekamku. Aku begitu gelisah dan bertanya pada ayahku. Meski ingin rasanya ku menangis, tapi ku utarakan maksudku dalam canda. Namun sepandainya anak menyembunyikan gelisahnya, orang tua pasti mengetahuinya. “Berdzikirlah”. Hanya itu yang ia katakan padaku. Selintas satu kata sederhana, namun penuh dengan makna yang begitu berarti.

Ya, kini aku sadar ada hal yang salah padaku ini. Rupanya aku telah terlampau batas, aku memikirkan hal yang tak seharusnya aku pikirkan. Dibalik gelisah ini, ada Yang Maha Mendengar, Maha Menolong, Maha Memberi Petunjuk. Dialah Allah, Tuhan semesta alam. Yaa Rabb, mungkin lewat sakitku ini, Engkau sampaikan pesan penting ini padaku, agar aku selalu mengingat-Mu dalam setiap hela nafasku. Engkau selalu ada dan memperhatikan setiap gerak-gerik hamba-Mu. Aku tersadar sagala yang aku lakukan pastilah tak lepas dari pengawasan-Mu. Ketika aku hampir melampaui batas dan terlalu asyik dengan duniaku yang fana, Engkau ingatkan aku lewat hal-hal yang tak mungkin aku dapat menduganya. Mungkin jika Engkau tak beri aku sakit, aku tak akan jera dan terus asyik dalam dunia fana ini. Namun Engkau memang Maha Bijaksana, Engkau mengetahui segala yang aku butuhkan. Aku membutuhkan pertolongan-Mu, aku membutuhkan uluran kasih sayang-Mu, dan Kau selalu hadir membawa jawaban melalui berbagai perantara, seperti melalui sakit ini dan Engkau luruskan dengan memberi hikmah melalui orang yang sangat aku sayangi, yaitu ayahku. Yaa Allah, terimakasih atas Kasih-Mu. Aku mohon ampunan-Mu. Aku ingin lebih dekat dengan-Mu. Aku ingin lebih mengenal-Mu. Aku ingin lebih baik lagi dari sebelumnya, aku ingin menjadi hamba-Mu yang taat. Yaa Allah, terimalah do’aku ini. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar