Asesmen alternatif, ya ini adalah salah satu mata kuliah yang saya pelajari ketika masih berkuliah.
Mempelajari mata kuliah ini membuat saya mengerti perbedaan penilaian dengan asesmen.
Loh kok beda? Ya, tentu saja beda.
Lalu apa bedanya? Mari kita masuk mata kuliah ini.. hehe...
Pernahkah ketika selesai mengajar, kita ingin mengetahui sampai sejauh mana tercapainya hasil belajar kepada siswa? Apakah hasil belajar itu menjadi acuan akhir dari capaian siswa? Atau hasil belajar itu untuk mengetahui ketercapaian sampai dimanakah siswa mampu menerima materi yang dipelajari?
Pernahkah kita menemukan siswa yang secara kognitif dia itu pintar, mampu menjawab segala bentuk pertanyaan pada soal-soal latihan atau ulangan, namun secara sikap dia kurang begitu sopan terhadap yang lebih tua ataupun kurang menghargai teman sebayanya? Atau dengan kata lain masih banyak sekali nilai aspek afektif yang perlu di benahi? Apakah siswa yang seperti ini layak mendapatkan nilai 100 di raport sesuai dengan nilai kognitifnya yang tinggi karena mampu menjawab setiap soal ulangan dengan sempuna? Atau karena sikapnya belum baik, kita kurangi nilainya menjadi 75 saja sesuai nilai rata-rata KKM? Apakah ini adil?
Atau sebaliknya, ada siswa yang sangat sopan, sangat baik, banyak yang sampai terkesan dengan kebaikannya, namun setiap nilai ulangannya di bawah rata-rata. Apakah adil kita beri nilai seadanya saja? Ah tidak, dia baik, maka naikkan saja menjadi 100?
Salahkah ini?
Atau sebenarnya siapa yang salah?
Siswanya?
Atau cara menilainya yang belum tepat?
Yes, di sinilah asesmen alternatif dibutuhkan...
Kecerdasan siswa tidak hanya dibatasi oleh kecerdasan kognitifnya saja, namun kecerdasan itu lebih luas lagi, yaitu meliputi kecerdasan spiritual, kecerdasan sosial, dan kecerdasan keterampilan. Siswa memiliki semua modal kecerdasan itu, lalu adilkah jika yang di nilai hanya satu kecerdasan untuk mewakili penilaian pribadinya yang utuh?
Lalu bagaimanakah nasib siswa yang memiliki kecerdasan lain yang lebih tinggi dibandingkan dengan kognitifnya?
Inilah mengapa beberapa orang mengatakan bahwa menjadi juara di kelas belum tentu menjadi juara di kehidupan nyata ketika berada di dunia kerja nanti, karena pemilihan juara kelas itu sendiri umumnya dibatasi hanya pada hasil penilaian kognitifnya saja. Andai kata aspek kecerdasan selain kognitif juga dipertimbangkan, apakah hasilnya sama yang dinobatkan menjadi juara kelas? Bisa ya, namun belum tentu juga.
Ini pula jawaban bahwa mengapa terkadang setelah keluar dari sekolah, sebagian orang merasakan tidak mendapatkan apa-apa dari yang dipelajarinya di kelas dulu untuk bekal melanjutkan hidup di dunia nyata. Mengapa?Karena biasanya pembelajaran hanya terfokus pada pengembangan modal kecerdasan kognitif siswa saja. Padahal modal kecerdasan siswa jauh lebih banyak, andaikan modal kecerdasan siswa yang lain digali lebih dalam lagi dan satu dengan yang lain seimbang, maka antara sekolah dengan dunia kerja atau biasa di istilahkan dunia nyata akan saling berkaitan. Sehingga ketika siswa keluar sekolahpun ia merasa sudah mendapatkan bekal yang cukup untuk menempuh hidup baru di dunia nyata.
Hal ini pula yang menjadikan asesmen alternatif begitu penting. Ketika pembelajaran sudah mampu diarahkan untuk menggali potensi berbagai modal kecerdasan siswa, maka harus ada alat atau instrumen untuk menilai sejauh mana perkembangan potensi kecerdasan itu dikembangkan.
Lalu bagaimanakah bentuk dari asesmen alternatif?
Contoh Asesmen Alternatif tersebut dapat dilihat pada link berikut:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar